Inspiration, MICE

Jadilah Menjadi Bos Sendiri Ketimbang Kuli Seumur Hidup

ShareJadilah menjadi bos sendiri ketimbang kuli seumur hidup  zaman now hal itu mudah dilakukan. Posisi penting dengan gaji gede, namun status tetaplah...

Written by Rayendra L. Toruan · 2 min read >
Menjadi Bos Sendiri

Jadilah menjadi bos sendiri ketimbang kuli seumur hidup  zaman now hal itu mudah dilakukan. Posisi penting dengan gaji gede, namun status tetaplah orang luar. Ketika untung gede, pemilik memuji-muji. Saat bisnis lesu atau rugi, ancaman PHK seperti gledek menyambar.

Menjadi Bos Sendiri
Perempuan muda ini bekerja di perusahaan yang memproduksi bus dengan imbalan tertentu. Jika dia bekerja saat  pameran, dia hanya mendapat upah harian, berbeda dengan pemilik yang mendapatkan gaji dan dividen . Jadilah Menjadi Bos Sendiri Ketimbang Kuli Seumur Hidup  (Foto:  Rayendra L. Toruan)

Bekerja di perusahaan milik orang lain ada untung-ruginya. Untungnya, karyawan mendapatkan upah yang teratur tiap bulan, dan menerima bonus atau Tunjangan Hari Raya yang jumlahnya diatur oleh pemilik.

Uang kesehatan pun ditanggung oleh perusahaan. Karyawan yang rajin dan produktif berpeluang menempati posisi strategis dengan imbalan dan fasilitas yang memadai dan memuaskan.

Akan tetapi, ini bagian dari ruginya, selain menghabiskan usia hingga ubanan dengan wajah yang mengkrut, nasib seorang karyawan yang mungkin sudah mendapat cincin emas loyalitas sampai tiga kali atas dedikasinya—tetap bersatus orang luar, bukanlah pemilik perusahaan itu sendiri.

Mana kala anak-anak pemilik perusahaan itu take over pengelolaan dan kepemilikan, bukan tidak mungkin haluan—bahkan visi dan misi—dibelokkan oleh pewaris generasi penerus perusahaan itu.

Orang-orang lama pun disingkirkan dan digantikan oleh anggota keluarga atau teman-teman sendiri. Karyawan yang bernasib baik (mungkin) mendapatkan  uang jasa atau pada masa jayaya yang bersangkutan rajin menabung untuk mengawali usaha sendiri.

Atau bisa juga karena ketidakmampuan menghadapi gelombang ekonomi dan bisnis yang demikian dahsyat pada era digital driver, pewaris perusahaan tak  sepiawai pendiri dalam hal management system dan keberuntungan.

Anggota keluarga besar lebih senang membagi-bagi aset yang konsekuwensinya berdampak negatif kepada para karyawan. Kita sering mendengarkan “kisah pilu” dari perusahaan-perusahaan besar yang melambungkan nama dan sosok pendiri.

Akan tetapi, nama harum pendiri perusahaan itu tenggelam yang terseret arus pertikaian dan conflict interests antarpemilik yakni generasi penerus. Konflik (mungkin) dapat diatasi di kantor pengadilan.

Jika perusahaan sudah go public—artinya sebagian sahamnya dimiliki publik—mau tak mau pemegang saham mayoritas—akan terkontrol atau setidak-tidaknya tahu diri bahwa perusahaan itu tidak lagi 100 persen milik keluarga.

Bagaimana para pekerja di perusahaan kecil dan menengah? Meski kebanyakan perusahaan kecil dan menengah umumnya sarat dengan kultur kekeluargaan, namun “nasib” pekerja dari luar tetaplah berstatus kuli. Artiya, jika bekerja dengan baik ya dapat penghasilan tetap.

Tulisan ini bukanlah bermaksud untuk “memusuhi” pemilik perusahaan besar yang sebagian besar milik keluarga. Kita justru berterima kasih kepada para perintis dan pendiri perusahaan berbasis  kekeluargaan.

Tingkat pendidikan para pendiri perusahaan keluarga umumnya lebih rendah dari anak-anak mereka yang mengenyam pendidikan di luar negeri. Entah karena pengalaman “jungkir balik” membesarkan perusahaan, rasa kemanusiaan para pendiri umumnya  lebih besar dibanding  kadar empati generasi pewaris.

Membayangkan dampak yang ditimbulkan gelombang digital disruption  dan munculnya robot-robot cerdas yang mampu mengambil-alih beragam pekerjaan, bukan tidak mungkin para lulusan perguruan tinggi sudah tersingkir sebelum masuk ke gelenggang dunia kerja.

Setiap perusahaan era Industri 4.0 harus mampu mengimplementasikan teknologi inovasi dan otomatisasi—bahkan teknologi blockchain dan nano teknologi—jika ingin bertahan menghadapi persaingan ketat di pasar global.

Katakan sebuah perusahaan yang memfokuskan usahanya di dalam negeri. Jika strateginya masih tetap berkultur konvensional, jangan harap akan mampu bersaing dengan perusahaan yang sudah menguasai teknologi berbasis digital.

Contohnya, demo besar yang dilakukan oleh para pengemudi taksi konvensional karena tidak kuat menghadapi transpor yang dikendalikan secara online. Padahal, pemilik perusahaan online itu hanya memiliki aplikasi perangkat lunak tanpa armada, apa lagi pool kendaraan.

Perusahaan online memiliki Advanced Force Operations dengan misi utamanya siap battle space untuk menghadapi perbatasan berikutnya yakni:  intelijen bisnis, tren, taktik,lak teknik, dan prosedur bisnis yang harus dilakukan kemudian.

Usia muda merupakan momentum yang pas, jadilah menjadi bos sendiri ketimbang kuli seumur hidup dengan melakukan bisnis sendiri atau bekerja sebagai pekerja lepas atau freelance tanpa harus absen tiap pagi dan saat jam kerja berakhir.

Bagaimana caranya? Kita akan urai minggu depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *