Inspiration, MICE

Menambang Mineral dan Migas dari Big Data Bukan lagi dari Alam

ShareMenambang mineral dan migas dari big data mestinya kita pacu. Potensi sumber daya alam (SDA) kian habis. SDA minyak dan gas terdapat...

Written by Rayendra L. Toruan · 2 min read >
Menambang Mineral dan Migas dari Big data

Menambang mineral dan migas dari big data mestinya kita pacu. Potensi sumber daya alam (SDA) kian habis. SDA minyak dan gas terdapat di 128 sedimen cekungan, 68 sudah dieksplorasi, dan 60 belum digali. China justru menambang emas dari nilai transaksi ponsel buatannya yang menguasai pasar kita.

Menambang Mineral dan Migas dari Big data
Alat EasyFit buatan perusahaan Bosch ini digunakan di truk raksasa yang umumnya digunakan di lokasi tambang yang medannya ekstrim dan tidak dapat dilihat (langsung) oleh driver (pengemudi) truk dari tempat kemudi. EasyFit merupakan mata tambahan agar dapat melihat sekeliling saat truk beroperasi di lokasi tambang. Perusahaan tambang menggali mineral sementara Bosch menggali tambang dari para pengguna perangkatnya yakni aplikasi dan alat keras . Menambang Mineral dan Migas dari Big data Bukan lagi dari Alam (Foto: Rayendra L. Toruan)

Potensi 60 sedimen cekungan (SC) yang mengandung minyak dan gas alam khususnya di wilayah Timur Indonesia belum sepenuhnya dieksplorasi. Akan tetapi, potensi minyak dan gas di 68 SC lainnya, kian menyusut. Dan kebanyakan potensi migas itu disedot perusahaan-perusahaan asing.

Indonesia mempunyai potensi tambang mineral. Hampir di setiap pulau memiliki kekayaan mineral. Sumatera memiliki batubara, timah, emas, granit, bauksit, marmer, batu kapur, dan grafit.  Demikian juga Kalimantan yang kaya akan batubara, bauksit, intan, dan nikel.

Sementara di Jawa sumber daya tambang biji besi, emas, fosfat, belerang, marmer, mangan, granit, kapur, gips, pasir kuarsa, dan tembaga semakin terkuras. Sulawesi memiliki nikel, mangan, emas, gips, tembaga, kapur, biji besi, mika, pasir kuarsa, dan aspal juga sudah digali.

Maluku dan Papua menyumbang sumber daya tambang nikel, m, asbes, tembaga, emas, marmer, dan asbes. Eksplorasi dan eksploiatasi sumber migas dan mineral umumnya dilakukan oleh perusahaan asing.

Jangan-jangan asing pula yang akan menambang mineral dan migas dari big data yang kita miliki. Kita bukan anti perusahaan asing yang umumnya lebih menguasai teknologi—termasuk mesin dan alat penggali sumber migas dan tambang (mineral).

Mereka mempunyai modal yang lebih banyak. Untuk melakukan survei contohnya,  berlangsung tahunan dengan biaya yang besar. Apakah kita hanya bermodalkan demo anti asing dan meneriakkan boikot buatan asing?

Padahal pihak asing telah memanfaatkan potensi tambang yang tersimpan di big data milik Indonesia. Buktinya, perusahaan start up dan online sejenis transportasi, toko online, jasa finansial sudah dimasuki oleh perusahaan asing. Kita pernah tulis, bahwa 50 jutaan pekerjaan akan diambil-alih digital driver.

Kita tidak menolak investasi yang berasal dari asing. Namun, berdasarkan big data yang kita miliki beberapa perusahaan asing—dari China dan Korea Selatan—mendirikan pabrikasi ponsel di Indonesia. Pasar ponsel domestik otomatis dirajai oleh buatan China dan Korea Selatan.

Apakah para insinyur kita tidak mampu membuat smartphone? Wong membuat pesawat terbang, kapal perang, kapal perusak, kapal selam, dan kereta api—bahkan membuat  skytrain—Indonesia sudah mampu.

Produk-produk yang disebutkan tadi sudah mendunia, kenapa produk smartphone tidak dapat kita buat?  Yang merisaukan, kenapa pihak asing yang lebih dominan memanfaatkan sumber harta dari big data milik Indonesia?

Ya, karena pihak asing kreatif menciptakan aplikasi teknologi dengan memanfaatkan orang-orang lokal meski bayarannya relatif kecil dibanding hasil tambang mereka dari big data yang kita miliki.

Lihat saja, bisnis Google, facebook, twitter, YouTube, dan yang lain dan beroparasi di Indonesia. Hampir tiap sudut di Indonesia diketahui oleh Google dan perusahaan sejenis yang dengan mudah mensearch data. Asal musual data itu ya dari tangan orang  Indonesia.

Sebagian dari orang kita hanya meributkan dominasi pihak asing, akan tetapi kita juga tidak berkutik karena harus menggunakan alat dan teknologi dari luar. Jadi, antara pendapat dan tindakan sering paradoks.  Lantas, apa yang harus kita lakukan bos?

Simak pendapat Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dikatakan belum lama ini, bahwa data is new mind, dan ini adalah tambang baru, dulu yang menjadi kaya adalah yang menguasai tambang emas batubara, minyak, maka pada era digital ini yang disebut sebagai tambang adalah tambang data.

Istilah big data bukanlah baru, sudah dikenal sejak tahun 2001, namun kita lagi-lagi keteter menghadapi dominasi pihak asing. Aksi menambang mineral dan migas dari big data yakni pasar Indonesia bukan hanya dari sektor industri yang berat-berat. Data sosial pun dijadikan komoditi bisnis.

Sekadar merefresh ingatan, dalam beberapa tahun ini kita sering mendengarkan kata smart city. Taruhlah konsepnya asli buatan Indonesia yakni berupa data yang berkaitan dengan aspek kehidupan warga kota, namun aplikasi perangkat lunak dan perangkat besar, sebagian besar buatan asing.

Nah, di saat kita ingin mencerdaskan kota—meliputi sistem transportasi, bisnis, kependudukan, finasial, kesehatan, sosial dan budaya, dan lain-lain—kita membeli aplikasi dan perangkat keras agar kita dapat merealisasikan smart city agar kita tidak ketinggalan.

Pihak asing pun menambang  emas dan berlian berupa miliaran dolar yang harus kita belanjakan. Asing kreatif dan inovatif mengolah big data menjadi bernilai (tambah) sebagai data base  yang kemudian diproduksi dalam beragam format untuk memenuhi pelanggan yang membutuhankan data itu.

Ingat bahwa peluang tambang dari big data yang memiliki volume, velocity, dan variety.

Pertanyaan yang harus kita jawab dan tindaklanjuti, apakah kita mampu menambang mineral dan migas dari big data milik kita sendiri?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *