Human Development, MANEJEMEN&SAFETY

Pergulatan Peneliti Membuat Vaksin tanpa Kimia demi Kesehatan Manusia

ShareJangan sembarang menggunakan vaksin—inilah hasil pergulatan peneliti membuat vaksin tanpa kimia demi kesehatan manusia dan hasil uji coba diproduksi secara massal mulai...

Written by Boromeus Sihombing · 2 min read >
Peneliti Membuat Vaksin tanpa Kimia

Jangan sembarang menggunakan vaksin—inilah hasil pergulatan peneliti membuat vaksin tanpa kimia demi kesehatan manusia dan hasil uji coba diproduksi secara massal mulai tahun 2018. Hindari unsur formaldehyde menyebabkan iritasi mata, gangguan kerongkongan, hidung, dan asma.

Peneliti Membuat Vaksin tanpa Kimia
Tim peneliti melakukan riset di fasilitas penelitian dan uji coba milik manajemen Fraunhofer IZI. Sebelum vaksin dapat digunakan di industri yang kemudian diprodusi secara massal, dimensi sistem harus dikurangi agar sesuai ukuran kulkas atau lemari pendingin. Pergulatan peneliti membuat vaksin tanpa kimia demi kesehatan manusia (Foto/©: Fraunhofer IZI)

Memproduksi vaksin merupakan pekerjaan yang sulit—terutama membuat vaksin yang tidak aktif karena kandungan unsur patogen harus ditiadakan tanpa mengubah strukturnya. Hingga sekarang, membuat vaksin umumnya masih menggunakan bahan kimia yang beracun.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)  vaksin digunakan untuk suatu persiapan secara biologis yang meningkatkan kekebalan tubuh manusia terhadap penyakit tertentu.

Vaksin mengandung unsur menyerupai mikroorganisme penyebab suatu penyakit—dibuat dari mikroba yang racunnya lemah atau ditiadakan.

Dengan teknologi inovatif baru yang dikembangkan oleh para peneliti Fraunhofer solusi pertama dari jenisnya dengan menggunakan berkas elektron untuk menghasilkan vaksin yang tidak aktif dengan cepat, dapat direproduksi dan tanpa penggunaan bahan kimia.

Vaksinasi terhadap polio, difteri, batuk rejan, dan tetanus merupakan standar daftar vaksinasi bayi  sejak beberapa dekade terakhir. Beragam vaksin merupakan vaksin tidak aktif—artinya kandungan patogen telah ditiadakan agar tidak  membahayakan pasien bayi atau balita.

Meskipun demikian, vaksin memprovokasi respons imun: tubuh mendeteksi penyusup asing dan mulai memproduksi antibodi untuk menangkal infeksi. Untuk menghasilkan vaksin ini, patogen dibudidayakan dalam jumlah besar yang menggunakan bahan kimia beracun.

Seperti dirilis oleh Fraunhofer, dinyatakan bahwa yang paling umum adalah unsur formaldehyde—sangat  encer agar tidak membahayakan pasien bayi ketika menjalani vaksinasi.  Unsur formaldehyde dapat mengganggu kesehatan seperti iritasi mata, hidung, tenggorokan, dan asma. 

Namun demikian, tim peneliti menyatakan terdapat kekurangan pada konsentrasi minimal yakni toksin harus tetap berhubungan dengan patogen selama beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu.

Tujuannya adalah untuk mengambil efek yang memiliki dampak negatif pada struktur patogen dan reproduksibilitas vaksin. Dalam kasus-kasus yang memerlukan vaksin seperti flu—kecepatan misalnya—produsen obat wajib menggunakan formaldehyde dengan dosis yang lebih tinggi.

Produk vaksin harus melewati proses penyaringan yang memakan waktu untuk menghindari jejak bahan kimia beracun yang tertinggal dalam vaksin. Berkas elektron membunuh unsur patogen yang berbahaya.

Tim peneliti merekomendasikan agar perusahaan farmasi memproduksi vaksin yang tidak aktif tanpa kandungan bahan kimia beracun. Para ilmuwan mengembangkan proses dengan melihat potensi besar dalam produksi vaksin. Tim ahli tidak menyetujui penggunaan metode inaktivasi kimia.

Teknik produksi vaksin dikembangkan bersama oleh para peneliti Institut Fraunhofer (divisi Terapi Sel dan Imunologi IZI), Teknik Manufaktur dan Otomasi IPA, Elektronik Organik, Berkas Elektron dan Teknologi Plasma FEP dan Teknik Antar-muka dan Bioteknologi IGB.

“Ketimbang menggunakan bahan kimia untuk menonaktifkan patogen, kami menggunakan berkas elektron berenergi rendah,” tutur  Martin Thoma pemimpin tim IPA Fraunhofer.

Elektron dipercepat dengan memecah DNA patogen melalui tumbukan langsung dan melalui generasi elektron sekunder—kemudian memutus untai tunggal dan ganda.

Elektron memecah DNA patogen dan mempertahankan struktur eksternalnya—penting untuk memicu respons imun secara efektif. Tantangan yang dihadapi oleh tim peneliti bahwa elektron tidak dapat menembus ke dalam suspensi yang mengandung patogen.

Kenyataannya untuk distribusi dosis secara merata, kadar cairan tidak boleh melebihi 200 mikrometer. Oleh karena belum ada teknologi yang  memenuhi persyaratan, tim peneliti Fraunhofer IPA mengembangkan dua metode baru.

Metode pertama dengan sebuah silinder dibasahi secara terus-menerus dengan suspensi patogen, diiradiasi, dan cairan yang tidak aktif dipindahkan ke bejana steril. Dua wadah masing-masing  berisikan patogen aktif dan patogen tidak aktif—saling terhubung melalui bejana silinder yang berputar.

“Pekerjaan ini adalah proses berkelanjutan yang dengan mudah ditingkatkan untuk produksi massal vaksin,” ujar Thoma. Metode kedua lebih cocok untuk aplikasi skala laboratorium—sejumlah  kecil vaksin diproduksi yang digunakan sebagai bahan penelitian dan pengembangan obat.

Larutan yang mengandung patogen ditempatkan dalam kantong dan kemudian dilewatkan melalui berkas elektron dengan menggunakan proses yang dipatenkan.

Para peneliti di Fraunhofer IZI bertanggung jawab untuk membudidayakan berbagai patogen  termasuk vaksin flu burung dan influenza kuda.

“Setelah iradiasi, kami bekerja dengan rekan-rekan ahli di Fraunhofer IGB untuk menentukan, apakah patogen telah sepenuhnya dinonaktifkan, sehingga memberikan perlindungan vaksin yang efektif,” kata Dr. Sebastian Ulbert, kepala departemen Fraunhofer IZI yang juga pemrakarsa proyek.

Keahlian dalam teknologi berkas elektron dimiliki oleh  para peneliti di Fraunhofer FEP. Tim peneliti mengembangkan sistem yang mampu mengirimkan berkas elektron berenergi rendah pada dosis yang tepat.

Tujuan penelitian adalah untuk mencapai hasil yang andal menonaktifkan patogen dan perawatan yang harus diperhatikan. Vaksin bermanfaat untuk melestarikan struktur patogen sehingga sistem kekebalan tubuh pasien (orang) mampu menghasilkan antibodi yang dibutuhkan badan.

Penemuan (hasil) teknologi baru telah diterapkan dan bukan hanya pada skala laboratorium. “Pada musim gugur tahun 2018, fasilitas penelitian dan uji coba mulai beroperasi di Fraunhofer IZI. Dengan menggunakan modul berkelanjutan, tumbler yang dibasahi menghasilkan empat liter vaksin setiap satu jam,” cerita Ulbert.

Penemuan tim peneliti itu sesuai dengan skala industri, misalnya untuk memproduksi vaksin tertentu, 15 liter suspensi patogen menghasilkan satu juta dosis vaksin.

Artinya, pergulatan peneliti membuat vaksin tanpa kimia demi kesehatan manusia berdampak positif terhadap pertumbuhan industri farmasi. Masukan bagi para peneliti dan industri farmasi di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *