Industrialisasi, Konstruksi & Infrastruktur

Menghitung Kelembaban Tembok Dilakukan untuk Mengetahui Kekuatan

ShareMenghitung kelembaban tembok dilakukan untuk mengetahui kekuatan. Proses yang paling buruk ketika pengeringan tembok berlangsung lebih dari 10 tahun. Cuaca pun memengaruhi...

Written by Jurnalis Industri · 2 min read >
Mengitung Kelembaban Tembok

Menghitung kelembaban tembok dilakukan untuk mengetahui kekuatan. Proses yang paling buruk ketika pengeringan tembok berlangsung lebih dari 10 tahun. Cuaca pun memengaruhi struktur tembok.

Mengitung Kelembaban Tembok
Fraunhofer IBP (kiri) memperlihatkan perhitungan dan pengukuran kadar air pada titik yang berbeda dalam proses pengeringan untuk berbagai lapisan (plester) struktur dinding (tembok)—terdiri dari batu kapur dengan mineral wool dan insulasi termal EPS. Kualitas konstruksi bangunan bergantung pada kualitas material yakni bahan baku—dari berbagai jenis material seperti bata, beton coran, dan sistem insulasi termal komposit. Menghitung kelembaban tembok dilakukan untuk mengetahui kekuatan (Foto: Rayendra L. Toruan)

Tembok yang kuat haruslah kering tanpa kandungan air. Oleh karena itu, tim peneliti mengebor sampel inti pada dinding gedung uji dan kemudian dilakukan tes di laboratorium untuk menentukan kadar kandungan air (O2).

Dinding atau tembok yang  lembab membutuhkan waktu lama agar mengering. Selama periode pengeringan peningkatan konduktivitas termal bahan membutuhkan energi yang lebih nesar.

Tingkat pengeringan dipengaruhi bukan hanya jenis unit pasangan bahan bangunan juga ditentukan jenis insulasi termal dan adanya penutup dinding internal seperti ubin keramik.

Untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci tentang perilaku pengeringan dari dinding eksterior dan faktor-faktor lain yang berperan, para peneliti di Fraunhofer IBP menyiapkan model berbagai struktur dinding dengan berbagai jenis isolasi. Tim mengujinya di bawah kondisi kehidupan nyata.

Contohnya dalam kasus terburuk, proses pengeringan dapat berlangsung lebih dari sepuluh tahun, pengukurannya dilengkapi dengan simulasi hygro-thermal jangka panjang.

Kasus sebagai referensi yang digunakan dalam tes bertujuan untuk menentukan sisa kelembaban  dinding yang baru dibangun—terbuat dari batu bata pasir-kapur dengan ketebalan 24 cm. Sistem  insulasi termal komposit eksternal terdiri dari serat mineral dan expanded polystyrene (EPS).

Kondisi pengeringan ekstrim diuji dengan menggunakan dinding yang dibangun dari blok beton seluler yang terendam air dengan ketebalan 30 cm.

Sistem isolasi termal eksternal komposit terdiri dari serat mineral yang dipadukan dengan EPS dan polystyrene ekstrusi (XPS), dan berbagai produk lain.

Untuk mensimulasikan proyek renovasi, pengujian dilakukan pada dinding batu bata yang padat dengan ketebalan 40 cm, berserat mineral dan sistem insulasi termal eksternal EPS. Semua dinding luar diuji di udara terbuka di bawah kondisi cuaca.

Sampel inti yang dibor diekstraksi untuk menentukan kadar air yang sebenarnya dari berbagai struktur eksperimental.

Simulasi hygrothermal digunakan untuk mengekstrapolasi data dari kadar air yang diukur dalam struktur yang berbeda. Berdasarkan data itu, para peneliti mampu memprediksi pola pengeringan pada jangka panjang.

Profil kelembaban menunjukkan bahwa dinding yang terisolasi dengan EPS cenderung kering dari luar. Sedangkan dinding yang terisolasi dengan bahan wol mineral mengevakuasi bagian yang lebih besar dari kelembaban yang terperangkap ke lingkungan luar.

Semua dinding terisolasi dengan produk berdasarkan serat mineral kering selama 18 bulan.  Sedangkan dinding terisolasi dengan EPS membutuhkan waktu dua kali lebih lama untuk mencapai kondisi yang stabil.

Selama fase pengeringan, pengurangan panas dengan menggunakan bahan tekstil bangunan lebih tinggi. Sebab transmisivitas yang lebih besar, dan ruangan perlu ditayangkan lebih sering untuk mengevakuasi kelembaban berlebih pada bagian dinding yang baru dibangun.

Dalam kasus batu bata pasir-kapur, yang memiliki sifat insulasi yang lebih buruk, sisa kelembaban menghasilkan peningkatan lima persen dalam nilai U pada tahun pertama setelah pembangunan konstruksi.

Sebaliknya, dinding yang terbuat dari batu bata berpori ringan dengan sistem isolasi termal komposit kehilangan 25 persen dari efisiensi termal pada tahun pertama.

Ketika berlangsung musim dingin, para peneliti mempertahankan interior bangunan pada suhu sekitar 20° C dan kelembaban relatif 50 persen. Kurva suhu menunjukkan fluktuasi harian dan musiman.

Sementara suhu di balik panel kaca bening berkisar antara −15° C dan 65° C hingga 90° C di belakang panel kaca gelap. Suhu yang diukur di belakang panel kaca cenderung lebih tinggi jika dibanding dengan pengukuran di bawah lapisan plester berwarna sama.

Hal itu dapat dijelaskan dengan adanya lapisan cat di permukaan belakang panel kaca, dengan hasil  pemanasan matahari sebagian besar terjadi di belakang permukaan eksterior.

Sistem ini menunjukkan divergensi luas dalam kandungan kelembabannya. Tingkat terendah dicatat sebagai varian mineral-wol. Bertentangan dengan perhitungan matematis, sistem menjadi lebih kering seiring bertambahnya waktu.

Tim peneliti menyimpulkan bahwa uap tidak selalu memulai. Akumulasi kelembaban dalam elemen kaca tampaknya kurang kritis seperti dugaan awal, mengurangi kemungkinan kerusakan embun beku.

Penampilan visual fasad kaca tidak memburuk selama durasi uji tiga tahun tentu dengan pengecualian perubahan kecil pada sambungan silikon.

Semoga para teknisi bangunan di Indonesia makin menyadari pentingnya, menghitung kelembaban tembok dilakukan untuk mengetahui kekuatan suatu konstruksi.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *