Inspiration, MICE

Limbah Makanan Menumpuk, Orang Kelaparan Mengais Sumber Rezeki

ShareBanyak orang yang tak acuh terhadap limbah makanan menumpuk —sementara itu masih banyak orang di sekitar kita yang tak mampu membeli makanan...

Written by Rayendra L. Toruan · 1 min read >
Limbah Makanan

Banyak orang yang tak acuh terhadap limbah makanan menumpuk —sementara itu masih banyak orang di sekitar kita yang tak mampu membeli makanan sehari-hari. Mereka mengais saat lapar mendera. Mungkinkah dijadikan sumber rezeki dari limbah atau sisa makanan?   

Limbah Makanan
Sekitar 52 persen limbah makanan menumpuk dan dihasilkan tiap rumah tangga. Limbah makanan menumpuk (Foto/©: AdobeStock)

Penulis/editor: Rayendra L. Toruan

mmINDUSTRI.co.idLimbah atau sisa makanan yang menumpuk bukan hanya terjadi di Jerman.  Indonesia menempati posisi ke-2 besar dunia sebagai penghasil sisa atau limbah makanan.

Di Jerman, sekitar dua belas juta ton makanan berubah menjadi sampah setiap tahun. Dan lebih dari 30 persen dari limbah makanan itu telah dihancurkan dalam proses produksi.

Sementara itu, menurut foodsustainability.eiu.com yang mengutip data dari Economist Intelligence Unit (2016) menempatkan Indonesia pada posisi ke-2 sebagai penghasil sampah makanan terbanyak di dunia setelah Saudi Arabia. 

Menurut Badan Pusat Statistik (2015), Indonesia menghasilkan 13 juta ton sampah makanan tiap  tahun. 

Jika makanan yang tersisa itu bukan limbah, 13 juta ton itu memungkinkan untuk menghidupi lebih dari 28 juta orang—hampir sama dengan jumlah penduduk miskin (11 persen dari populasi). 

Data itu tentu berubah pada tahun 2021 manakala pandemi #Viruscorona mendera dunia dan Indonesia.

Bagaimana cara memanfaatkan sisa atau limbah makanan? 

Melalui proyek Resource-efisien Intelligent Foodchain (REIF), Institut Fraunhofer yang menangani Teknologi Pengecoran, Komposit dan Pemrosesan IGCV bersama para mitra berusaha memerangi dampak limbah makanan di Jerman. 

Tim peneliti menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk menjadikan limbah atau sisa makanan menjadi aset yang bernilai ekonomi. 

Contohnya, keju, roti, daging, dan produk makanan lainnya dapat diproduksi secara efisien dengan menggunakan teknologi algoritma yang berbasiskan data. 

Metode pembelajaran mesin atau machine learning mampu mengoptimalkan penjualan dan perencanaan produksi serta sistem kontrol proses dan pabrik.

Kita apresiasi komitmen Jerman sesuai dengan tujuan dan misi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengurangi 50 persen limbah makanan pada tahun 2030. 

Sebanyak 12 juta ton makanan dihasilkan oleh Jerman yang berpenduduk lebih 83,3 juta jiwa itu, dan potensi itu berasal dari rantai nilai mulai dari sektor pertanian, industri pangan hingga terhidang di atas meja makan. 

Menurut rilis  Fraunhofer, sekitar 52 persen sampah atau limbah makanan berasal dari rumah tangga—seperti diungkapkan hasil studi yang dilakukan oleh Thünen Institute pada tahun 2019. 

Selanjutnya, studi tersebut mengungkapkan bahwa sekitar 30 persen kerugian telah terjadi sejak tahap produksi (hasil pertanian) dan pengolahan pangan. 

Dan 18 persen lainnya disebabkan  oleh para grosir dan eceran makanan atau produk bahan makanan. 

Proyek REIF digarap oleh 30 mitra yang mengerjakan solusi jangka panjang. Fokus utamanya adalah merancang ekosistem AI dengan menyertakan peserta di setiap langkah rantai nilai. 

Proyek ini didanai oleh Kementerian Federal Jerman untuk Urusan Ekonomi dan Energi (BMWi) dengan dana Euro 10 juta

Bagaimana meminimalkan produksi yang  berlebih dan menghindari pemborosan di bidang pangan? 

Ada berbagai penyebab pemborosan yang dapat dihindari, mulai dari produksi berlebih hingga fluktuasi kualitas bahan mentah hingga makanan yang gagal memenuhi persyaratan estetika tertentu.

Mitra proyek REIF berfokus pada produk susu, daging, dan roti. Pemborosan yang terjadi dalam produk ini disebabkan kerusakan. 

“Dua aspek adalah kunci untuk secara signifikan mengurangi kehilangan makanan di sektor ini – meminimalkan produksi berlebih dan menghindari pemborosan,” pinta Patrick Zimmerman, ilmuwan dari Fraunhofer IGCV yang juga anggota konsorsium.

Baca: Sesuaikan Kebutuhan Pangan dengan Target Produksi, ini Peran Teknologi Algoritma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *