Engineering & Design, Industrialisasi

Kuasai Kecerdasan Buatan (AI) Otomatis Pemimpin Era Industry 4.0

ShareKuasai kecerdasan buatan (AI) otomatis pemimpin era Industry 4.0—inilah ambisi tiap negara. China siap menyalib posisi Amerika Serikat  pada 2030. Dalam mengadopsi...

Written by Erwin Prasetyo · 3 min read >
Pemimpin Era Industry 4.0

Kuasai kecerdasan buatan (AI) otomatis pemimpin era Industry 4.0—inilah ambisi tiap negara. China siap menyalib posisi Amerika Serikat  pada 2030. Dalam mengadopsi kecerdasan buatan di ASEAN, Indonesia paling top disusul Thailand, Singapura, dan Malaysia. AI mampu mendekti kanker payudara.   

Pemimpin Era Industry 4.0
Melalui monitor sebuah laptop suasana di pabrik produksi terpantau—termasuk proses produksi—sepenuhnya berlangsung dengan kecerdasan buatan.  Kuasai kecerdasan buatan (AI) otomatis pemimpin era Industry 4.0 (Foto: Rayendra L. Toruan)

Meski baru tingkat pengguna—belum termasuk negara pencipta teknologi kecerdasan buatan—Indonesia telah mengadopsi penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).  

Menurut hasil survei  SAS dan International Data Corporation (IDC) di Indonesia,  perusahaan-perusahaan yang menggunakan teknologi AI mencapai 24,6 persen—terbesar di Asia Tenggara, disusul Thailand (17,1 persen), Singapura (9,9 persen), dan Malaysia (8,1 persen).

Seperti dikutip laman CNNIndonesia, Direktur Riset Global Big Data IDC Chwee Kan Chua menuturkan,  tingginya adopsi AI di Indonesia merupakan kesadaran manajemen perusahaan menggunakan AI—semakin penting untuk meningkatkan produksi dan efisiensi.

Penggunaan teknologi AI butuh investasi yang harus dilakukan agar mampu menganalisis data yang lebih optimal, otomatis, dan inovatif yang ujung-ujungnya menghasilkan insight baru di dunia bisnis, demikian pendapat  Chwee.

Penggunaan AI mengimplementasikan otomisasi pada proses industri (51 persen) dan meningkatkan produktivitas (42 persen). Chwee mengingatkan lembaga yang belum menerapkan AI bakal sulit bersaing dengan perusahaan yang telah menggunakan teknologi AI. 

Industri perbankan, manufaktur, kesehatan, dan pemerintahan berpeluang menggunakan AI—lebih mudah meningkatkan keuntungan dari ketepatan, efisiensi, dan kelincahan berinovasi yang lebih luas.

Dalam mengadopsi AI, jumlah ahli dan biaya sangat terbatas. Hambatan ini merupakan peluang bagi para profesional muda di bidang teknologi informasi dan penyedia perangkat lunak.

Hampir 50 persen perusahaan menyatakan belum berencana menggunakan teknologi AI selama 5  tahun ke depan.  Bandingkan dengan China dan Korea Selatan yang kapabasilitas pengguna teknologi AI mencapai lebih dari 80 persen.

Kedua negara ini yakin implemengasi teknologi AI merupakan kunci sukses dan terbentuknya  daya saing yang kuat bagi perusahaan pada tahun-tahun mendatang.

Negara yang menguasai teknologi berbasiskan kecerdasan buatan yang tercepat dan terbaik menjadi pemenang pada era Industry 4.0—Indonesia menamakannya dengan Making Indonesia 4.0. Juga penggunaan  Internet of Things dan robot.

Pada September 2016, Google, Facebock, Amazon, Microsoft, dan IBM membentuk aliansi penelitian bertajuk Open Artificial Intelligence. Apakah bisnis di dunia bakal dikenalikan oleh ke-5 perusahaan raksasa itu?   

Tentu China tak mau berdiam diri. Bulan Juli 2017, negeri Panda itu menyatakan bersiap menjadi pemimpin dunia di semua area bisnis dengan menerapkan teknologi AI pada tahun 2030. Sementara Jerman telah mengakui pentingnya strategis AI.

Pembelajaran mesin dianggap sebagai teknologi utama untuk transformasi digital ekonomi dan masyarakat. Hampir semua industri yang secara radikal mengubah platform dengan menggunakan teknologi AI.

Menurut rilis Fraunhofer, teknologi AI telah digunakan di sektor industri, kedokteran, hukum, keuangan, kontrol proses, logistik, manajemen pelanggan, transportasi, dan sebagainya.

Pembelajaran mesin mampu menganalisis gambar, melakukan penelitian dan menyiapkan dokumen, membantu dengan investasi, mengoptimalkan proses produksi di industri, mendeteksi cacat produk, dan robot yang bergandengan tangan dengan manusia dalam melakukan pekerjaan.

“Potensi sangat besar yang menjanjikan produk dan layanan berbasis pembelajaran mesin yang berbasis Industry 4.0. Misalnya dalam analisis industri dan optimalisasi proaktif dari proses produksi,” tutur Profesor Stefan Wrobel, kepala Institut Fraunhofer yang membidangi Analisis Cerdas dan Sistem Informasi IAIS.

Bagaimana kita belajar darti cara pembelajaran mesin? Nah, ini kuncinya, pembelajaran mesin justru  menghasilkan pengetahuan dari pengalaman yang diperoleh dari waktu-waktu sebelumnya.

Ambil contoh seekor kucing. Dari ribuan gambar yang disebut kucing, teknologi algoritma pembelajaran dalam jaringan saraf melatih pola yang memungkinkan kucing mengenali kucing, meskipun mereka hanya terlihat sebagian.

Penentu kualitas pengetahuan yang dipelajari adalah jumlah data sampel. Oleh karena Itu, pembelajaran mesin memiliki kekuatan—sejumlah  gambar, dokumen, atau contoh bahasa tersedia.

Dengan demikian, sistem pembelajaran dari gambar medis dapat mengidentifikasi kanker payudara, penyakit jantung, osteoporosis, dan tanda-tanda pertama kanker kulit.

Bagaimana posisi Jerman dalam pembelajaran mesin? Tim peneliti Fraunhofer menunjukkan, Jerman memiliki posisi baik dalam penelitian dasar meski  defisit dalam implementasinya di pasar. Ini dibuktikan dengan jumlah aplikasi buatan Jerman yang dipatenkan.

Perusahaan teknologi di Amereika Serikat (AS) mengandalkan basis data besar, memiliki keunggulan yang tidak dapat disangkal dibandingkan perusahaan menengah di Jerman yang memiliki basis data kecil.

Akses ke data sangat penting untuk kompetisi, tim peneliti hanya memiliki kemampuan untuk berbagi data dengan orang lain—asalkan kontrol dan privasi diamankan. Jumlah spesialis relatif kecil, para ahli memperingatkan.

Tujuan penelitian  sangat penting untuk keterlacakan dari keputusan sistem pembelajaran. Para ahli menyebut dengan ungkapan “AI yang bisa dijelaskan”.  

Pengetahuan tambahan dapat mengkompensasi data yang hilang dan meningkatkan keterlacakan.
Pada saat yang sama banyak pertanyaan hukum dan etika harus diklarifikasi: Siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan dan kesalahan? Siapa yang bertanggung jawab atas konten?

Siapa yang memiliki hak cipta? Mengapa mesin memutuskan seperti itu dan bukan sebaliknya?  Apakah orang-orang tertentu mengalami diskriminasi? Apa yang dapat diputuskan oleh sistem itu sendiri? Bagaimana data dan perlindungan konsumen dijamin?

“Tidak akan bisa diterima jika AI berperilaku kurang etis, kurang moral, kurang benar, kurang diterima secara sosial seperti lazimnya manusia,” tandas ahli AI bernama Stefan Wrobel.

Stefan Wrobel kepala Institut Fraunhofer yang membidangi Analisis Cerdas dan Sistem Informasi IAIS menambahkan, pembelajaran diterima sebagai asisten yang berharga.

Jangan anggap bahwa AI merupakan serangan terhadap ketidaktahuan manusia. Oleh karena itu, kuasai kecerdasan buatan (AI) otomatis pemimpin era Industry 4.0.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *