Inspiration, MICE

Mesin Pembelajaran Menangkap Berita Palsu dan Hoaks, Software Menganalisis

ShareBagaimana mesin pembelajaran menangkap berita palsu dan hoaks? Orang yang deman dan rajin menyebar berita palsu melalui media sosial, mudah dilacak. Jejak...

Written by Rayendra L. Toruan · 3 min read >
Mesin Pembelajaran

Bagaimana mesin pembelajaran menangkap berita palsu dan hoaks? Orang yang deman dan rajin menyebar berita palsu melalui media sosial, mudah dilacak. Jejak digital tak mudah dihapus. 

Mesin Pembelajaran
Untuk mengidentifikasi berita palsu, alat pembelajaran mesin baru buatan Fraunhofer FKIE piawai menganalisis teks dan metadata. Mesin pembelajaran menganalisis berita palsu dan hoaks (Foto/©: Fraunhofer FKIE)

Sebagian orang senang menceritakan atau mengarang berita palsu dan hoaks tanpa fakta atau data. Bahkan berita yang benar-benar terjadi justru diubah menjadi berita palsu. Berita-berita palsu atau hoaks itu bagai kobaran nyala api yang merambat di internet.

Mesin Pembelajaran Menangkap Berita Palsu dan Hoaks

Orang yang menyulutkan nyala api senang membagikan berita palsu dan hoaks tanpa memikirkan dampaknya. Penggunaan dan peran media sosial disalahgunakan. Ironisnya, tidak sedikit orang yang terjebak dan melahap bulat-bulat berita palsu dan hoaks itu, bahkan ikut menyebarkannya. 

Apakah keadaan itu dibiarkan? Tentu saja tidak. Tim peneliti Fraunhofer telah mengembangkan sistem yang secara otomatis mampu menganalisis berita—berupa teks dan gambar visual—yang dipostingkan di media sosial. 

Aplikasi temuan para ahli  mampu menyaring berita palsu dan disinformasi. Fitur menganalisis konten dan metadata, mengklasifikasikannya dengan menggunakan teknik mesin pembelajaran dengan memanfaatkan interaksi pengguna untuk mengoptimalkan hasilnya.

Biasanya berita palsu dirancang  dengan tujuan untuk memancing tanggapan pihak tertentu atau ingin memicu agitasi terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat agar mereka marah atau membenci pihak lain. 

Para penyebar berita palsu dan hoaks itu bertujuan untuk memengaruhi dan memanipulasi opini publik terhadap suatu topik yang lagi hantat dibicarakan oleh masyarakat. 

Berita palsu dan hoaks menyebar demikian cepat melalui internet—terutama di media sosial seperti Facebook atau Twitter. Dan untuk mengidentifikasi kebenarannya sungguh rumit. 

Berkat alat klasifikasi yang dikembangkan oleh tim ahli Fraunhofer Institute for Communication, Information Processing and Ergonomics FKIE maka informasi yang masuk di meda sosial, software secara otomatis menganalisis postingan itu dan memproses data dalam jumlah besar.

Selain memproses teks, alat itu memasukkan metadata ke dalam analisisnya dan menyampaikan temuannya dalam bentuk visual. Oleh sebab itu, orang yang doyan menyerbarkan berita palsu dan hoaks sebaiknya menghentikan hobi yang tidak prduktif itu. Jejak digital  mudah  dilacak. 

“Perangkat lunak buatan kami fokus pada Twitter dan situs web lain. Tweet adalah tempat Anda menemukan tautan yang mengarah ke halaman web yang berisi berita palsu dan hoaks. Media sosial berperan sebagai pemicu, jika ada pihak yang suka,” tandas Prof. Ulrich Schade seorang pakar dari Fraunhofer FKIE, yang kelompok risetnya mengembangkan alat penganalisis.

Prof. Ulrich Schade menambahkan, bahwa bagian berita palsu sering kali diposting di situs web yang dirancang untuk meniru format web kantor berita (resmi) dan sulit dibedakan dari situs aslinya. Dalam banyak kasus, beritanya berdasarkan pada berita resmi, namun teksnya telah diubah. 

Tim Prof. Ulrich Schade memulai proses dengan membangun perpustakaan yang terdiri dari berita serius dan juga teks yang diidentifikasi pengguna sebagai berita palsu. Cara ini kemudian membentuk perangkat pembelajaran yang digunakan untuk melatih sistem.

Untuk menyaring berita palsu, peneliti menggunakan teknik mesin pembelajaran yang secara otomatis mencari penanda tertentu dalam teks dan metadata. 

Misalnya, dalam konteks politik, dapat berupa rumusan atau kombinasi kata yang jarang muncul dalam bahasa sehari-hari atau dalam pemberitaan jurnalistik, seperti “kanselir Jerman saat ini”. Kesalahan linguistik juga merupakan tanda bahaya. 

Hal ini sangat umum terjadi ketika penulis berita palsu menulis dalam bahasa selain bahasa ibu mereka. Dalam kasus seperti itu, tanda baca, ejaan, bentuk kata kerja, atau struktur kalimat yang salah merupakan peringatan tentang kemungkinan berita palsu. 

Indikator lain mungkin termasuk ekspresi tidak pada tempatnya atau formulasi yang tidak praktis.

“Saat kami memasok sistem dengan serangkaian penanda, alat atau mesin belajar sendiri untuk memilih penanda yang berfungsi. Faktor penentu lainnya adalah memilih pendekatan mesin pembelajaran yang memberikan hasil terbaik. Proses ini butuh waktu, karena harus menjalankan berbagai algoritme dengan kombinasi penanda yang berbeda,” urai Prof. Ulrich Schade.

Metadata juga digunakan sebagai penanda, memainkan peran penting dalam membedakan antara sumber informasi otentik dan berita palsu. Misalnya, seberapa sering posting diterbitkan, kapan tweet dijadwalkan, dan kapan waktu posting bisa sangat jitu. 

Misalnya, dapat mengungkapkan suatu negara dan zona waktu pencetus berita. Frekuensi pengiriman yang tinggi menunjukkan bot, yang meningkatkan kemungkinan berita palsu. 

Bot sosial mengirimkan tautan mereka ke sejumlah pengguna, misalnya untuk menyebarkan ketidakpastian di kalangan publik. Koneksi dan pengikut akun juga dapat membuktikan lahan subur bagi analis.

Hal itu memungkinkan peneliti untuk membangun peta panas dan grafik pengiriman data, frekuensi pengiriman, dan jaringan pengikut. 

Struktur jaringan ini dan node individualnya dapat digunakan untuk menghitung jenis node dalam jaringan yang mengedarkan item berita palsu atau  kampanye berita palsu.

Fitur lain dari alat otomatis ini adalah kemampuannya untuk mendeteksi perkataan yang mendorong kebencian. Pos yang berpura-pura sebagai berita tetapi juga berisi perkataan yang mendorong kebencian sering kali ditautkan sebagai berita palsu. 

“Yang terpenting adalah mengembangkan penanda yang mampu mengidentifikasi kasus ujaran kebencian yang jelas. Contohnya termasuk ekspresi seperti ‘sampah politik’ atau kafir,” kata Prof. Ulrich Schade yang ahli bahasa dan matematika itu.

Para peneliti mampu menyesuaikan sistem dengan berbagai jenis teks untuk mengklasifikasikannya. Badan publik dan bisnis dapat menggunakan alat tersebut untuk mengidentifikasi dan memerangi berita palsu. 

“Perangkat lunak buatan kami dapat dipersonalisasi dan dilatih untuk memenuhi kebutuhan setiap pelanggan. Untuk badan publik, aplikasi ini menjadi sistem peringatan dini dan berguna,” imbuh  Prof. Ulrich Schade.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *