Energi, Renewable Sources

Krisis Energi Melanda Dunia, Apa Berkahnya bagi Indonesia?

ShareJika krisis energi melanda dunia, bagaimana Indonesia menjadikannya sebagai berkah? Kembangkan teknologi pembuatan batubara hibrida—merupakan campuran partikel batubara dan limbah biomassa dengan...

Written by Marinus L Toruan · 3 min read >

Jika krisis energi melanda dunia, bagaimana Indonesia menjadikannya sebagai berkah? Kembangkan teknologi pembuatan batubara hibrida—merupakan campuran partikel batubara dan limbah biomassa dengan menggunakan perekat.  

Dunia sedang menghadapi masalah kirisis energi. Krisis energi melanda dunia (Foto/@: belajarenergi.com)

Penulis: Priyo P. Soemarno dan Pudji Untoro*   

Editor: Marinus L Toruan

mmINDUSTRI.co.id – Lembaga Kajian Nawacita (LKN) melalui Ketua Umumnya, Ir. Samsulhadi sangat berupaya dan beraksi untuk mendukung  agar Indonesia terhindar dari krisis energi seperti yang telah menimpa beberapa negara-negara maju.  

Dunia sedang bersiap menghadapi krisis energi, dan telah diprediksi sebelumnya dan dimulai saat harga gas dan batubara diperjuangkan untuk pulih kembali pasca pandemi.

Kenaikan harga sebelumnya dipicu kebutuhan dan kenaikan harga grosir yang konsisten, dan telah membuat utilitas tidak menguntungkan. 

Kampanye secara global sebagai warming dan permintaan untuk  menghentikan operasional PLTU dengan bahan bakar batubara,  sempat membuat harga batubara anjlok hingga di bawah US$90/MT, namun belakangan  harga cenderung meningkat lagi. 

Ternyata turunnya produksi minyak dunia juga memengaruhi peningkatan harga tersebut dan belum siapnya pasokan energi baru terbarukan (hijau) sebagai pengganti energi fosil, dan  telah nengakibatkan arus balik yang kuat, untuk tetap gunakan batubara sebagai energi yang harganya lebih murah dan dapat diandalkan.

Tanda-tanda belum siapnya mengakhiri PLTU batubara juga dirasakan dalam sidang COP 26, di mana China, Amerika Serikat,  dan beberapa negara industri tidak bersedia menandatangani kesepakatan untuk penghentian operasional PLTU batubara secara bertahap hingga mengentikannya sama sekali pada tahun 2060.

Batubara masih jadi andalan 

Indonesia sebagai penghasil batubara dgn jumlah ekspor mencapai 600 juta MT/tahun dengan sendirinya mendapatkan tambahan keuntungan yang signifikan untuk tetap digunakan sebagai sumber devisa negara pada saat ini. 

Kebijakan untuk mengurangi jumlah ekspor secara bertahap menuju penghentian ekspor dilaksanaka paling lambat pada tahun 2046, dan  harus segera dimulai implementasinya. 

Menurut Ketua Komite Sumber Daya Alam dan Mineral Tambang, Lembaga Kajian Nawacita (SDA-MT, LKN) Ir. Priyo Soemarno, kebijakan Green Earth dan Green Energy masih menjadi pedoman arah pembangunan.

Bahkan Indonesia sudah masuk ke pengembangan energi baru dan terbarukan, membangun industri baterei untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterei (KBLBB) dan sistem penyimpan energi, serta industri dari sumber energi terbarukan lainnya baik energi air, panas bumi dan matahari.  

Ibukota negara yang segera dimulai pembangunannya  dirancang dengan Green City, meskipun berada di tengah tengah ladang batubara yang dapat direncanakan sebagai cadangan sumber energi dan material maju masa depan. 

Priyo Soemarno menyatakan bahwa, di satu sisi sudah melangkah ke arah energi non-fossil, tetapi di sisi yang lain batubara mungkin masih bisa digunakan sebagai penghasil listrik yang murah.

Program Co-firing jadi alternatif

Sementara menurut Prof. Ir.Dwiwahju Sasongko, M.Sc.,Ph.D., Guru Besar Teknik Kimia ITB, alternatif pengunaan batubara yang lebih ramah lingkungan akan menjadi alternatif yang harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan terkait program co-firing yang telah dicanangkan untuk mengurangi penggunaan batubara secara langsung untuk PLTU-PLTU di Indonesia. 

Selanjutnya Prof. Ir.Dwiwahju Sasongko mengatakan juga bahwa baubara adalah endapan senyawa organik karbon juga, yang terbentuk secara alamiah dari sisa-sisa tumbuh-tumbuhan dalam rentang waktu 300an juta tahun yang lalu. 

Oleh karena itu, tim Dwiwahju Sasongko mengembangkan teknologi pembuatan batubara hibrida, yang merupakan campuran partikel batubara dan limbah biomassa dengan menggunakan perekat. 

Proses selanjutnya harus dilakukan dengan teknologi pirolisis, yang merupakan proses dekomposisi termokimia melalui proses pemanasan rendah oksigen atau pereaksi kimia lainnya pada suhu yang tinggi. 

Proses pirolisis dengan suhu yang relatif lebih rendah dalam pembuatan batubara hibrida disebut juga sebagai proses torefaksi, sehingga sebagian bahan volatil mengalami dekomposisi dan terlepas dari matriks batubara maupun biomassa. 

Sementara itu Dr.-Ing. Pudji Untoro, Ketua Komite Karbon Baru dan Material Maju (KBMM-LKN) yang sekaligus sebagai Wakil Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), menyatakan bahwa melimpahnya potensi biomassa dan limbahnya di Indonesia bisa jadi andalan untuk dapat mendukung program co-firing tersebut. 

Selain itu melalui teknologi pirolisis juga sampah dapat diubah menjadi biochar (arang) yang juga dapat digunakan sebagai subsitusi penggunaan batu baru di PLTU terdekatnya yang akan mengurangi biaya angkutnya agar dapat mendukung pelaksanaan program co-firing yang direncanakan. 

Dengan menggunakan teknologi tepat guna dan kapasitas kecil-kecil yang dapat disebarkan kepada komunitas masyarakat melalui konsep “bank sampah” maka penyediaan bahan baku untuk program tersebut secara masif dapat didukung masyarakat secara berkelanjutan.  

Peluang Indonesia

Situasi dilematis saat ini dengan adanya pelarangan ekspor batubara bisa memberikan peluang bagi Indonesia untuk mempercepat penyiapan pembangunan energi alternatif.

Oleh karena suatu saat nanti tidak boleh ada lagi emisi karbon yang dihasilkan oleh pembangkit listrik atau mesin-mesin industri dan otomotif serta proses produksi untuk kegiatan-kegiatan perdagangan global masa depan. 

Hal tersebut akan dialami juga bukan hanya Indonesia, tetapi juga dunia akan punya persoalan yg sama dan punya kemungkinan peluang penambahan waktu untuk dibolehkan kembali menggunakan batubara. 

Pokok-pokok penting yang menjadi usulan Priyo melalui bahasan diskusi pada Komite SDA-MT, LKN belum lama ini seperti berikut:

  1. Pemerintah segera menyusun strategi untuk transisi dari energi fosil ke energi hijau dengan percepatan industrialisasi bahan tambang menjadi bahan baku EBT untuk mengurangi devisa impor. Strategi ini seyogyanya dapat dijalankan disaat dunia masih belum saatnya (belum bisa) meninggalkan batubara dan kita mulai dengan pengembangan karbon baru.
  2. Indonesia masih berpeluang menjual batubara dan mendapat tambahan keuntungan dari ekspor 600juta MT/tahun batubara untuk menjaga keberlanjutan industri  sambil memulai transisi usahanya menuju industri yang lebih ramah lingkungan.
  3. Perketat pelaksanaan DMO dengan perhitungan harga batubara subsidi silang. Pengusaha batubara tidak akan dirugikan.
  4. Hilirisasi batubara dijalankan dengan kebijakan tambahan insentif dan Kebijakan hilirisasinya dengan roadmap yang di sempurnakan. Pedomannya adalah substitusi impor BBM/BBG. Selain itu, Pemerintah harus mengalokasikan sebagian dana windfall profit untuk percepatan industrialisasi mineral energi dan bahan baku  EBT serta ditujukan untuk memperkuat stockpile critical materials.
  5. Perlu ada kebijakan terintegrasi, antara rencana pembangkitan listrik nasional dan rencana penyediaan bahan baku pembangkitan EBT, dengan Rencana Industrialisasi bahan tambang untuk mendukung pembangkit-pembangkit  EBT, percepatan pembukaan tambang-tambang yang menghasilkan mineral energi dan bahan baku industri Pembangkit EBT.

Kebijakan terpadu ini memerlukan regulasi-regulasi baru, berupa PP atau kebijakan yang setingkat, sehingga Pemerintah akan siap dalam masa jeda transisi/shifting dari energi fossil ke energi hijau Indonesia dapat secepatnya keluar dari krisis bahan baku industri.

Priyo P. Soemarno dan Pudji Untoro, keduanya dari Komite SDA-MT dan KBMM, Lembaga Kajian Nawacita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *