Human Development, MANEJEMEN&SAFETY

Siapkah Para CEO Menghadapi Disruption?

ShareHampir semua industri tersentuh oleh digital disruption. Semakin banyak pelaku industri yang ketar-ketir. Diperkirakan pada 2025, separuh dari jenis profesi yang ada...

Written by Boromeus Sihombing · 3 min read >

Hampir semua industri tersentuh oleh digital disruption. Semakin banyak pelaku industri yang ketar-ketir. Diperkirakan pada 2025, separuh dari jenis profesi yang ada saat ini akan punah.

Gangguan digital terjadi ada diana-mana, beberapa perusahaan mengklaimnya sebagai rahasia kesuksesan mereka sedangkan pihak lain menyalahkannya karena hasil yang tidak terlalu spektakuler. Akan tetapi, diam-diam yang tersembunyi menjadi kenyataan bahwa gangguan digital jauh lebih dari sekadar frasa buzz yang mudah diingat—seperti teknologi dalam beragam lambang dan  gangguan digital adalah salah satu yang sering terjadi. ( Sumber foto: https://www.1e.com/blogs/category/digital-disruption/)

Disruption sebenarnya bukan hal baru. Guru saya di Harvard Business School (Amerika Serikat), Prof Clayton Christensen pernah menggagas tentang konsep Disruptive Innovation sejak 1995. Namun, ketika teknologi digital mengalami kemajuan pesat sejak era internet dan smartphone, disruption terjadi secara masif.

Hampir semua industri tersentuh oleh digital disruption, sehingga semakin banyak pelaku industri yang ketar-ketir. Bahkan diperkirakan pada 2025, separuh dari jenis profesi yang ada saat ini akan punah.

Tergusurnya Blockbuster oleh Netflix, goyahnya jaringan hotel oleh AirBnB, jatuhnya Nokia sang raja telepon genggam, matiannya industri operator telekomunikasi untuk bisa bangkit kembali, terancamnya masa depan industri perbankan dengan hadirnya fintech, hingga demo supir taksi di berbagai negara akibat hadirnya aplikasi taksi daring. Itu sebagian dari dampak digital disruption yang betul-betul menyapu nyaris semua lini.

Sebagian pemain industri mampu bangkit, sebagian bahkan menyalip memenangkan persaingan, namun tidak sedikit yang kolaps. Apa yang membedakan ketiganya? Yang paling berpengaruh adalah bagaimana mekanisme kerja otak para eksekutif puncaknya dalam menyikapi disruption.

Perusahaan yang mekanisme otak para pemimpinnya mampu menyikapi dengan positif akan bertahan atau bahkan semakin melesat. Sementara perusahaan yang kolaps adalah yang dipimpin oleh para eksekutif yang tidak sanggup menjinakkan respons negatif otak mereka.

Apa sebenarnya dampak disruption bagi otak kita? Bagaimana agar otak kita sebagai pemimpin bisnis dapat terlatih untuk bisa tahan banting menghadapi disruption?

Kenapa kita panik menghadapi disruption?

Disruption setidaknya memiliki dua makna di otak kita, yaitu alert (siaga) atau overwhelmed (kewalahan). Keduanya akan direspons secara berbeda oleh otak kita, sehingga menghasilkan sikap dan tindakan yang berbeda pula.

Otak kita seperti radar. Setiap saat bagian tertentu dari korteks prefrontal otak kita selalu memantau apakah ada hal-hal baru yang menarik perhatian. Sementara, disruption adalah sebuah pembetot perhatian yang sangat kuat bagi otak kita. Baru, asing, dan penting. Karena itu tidak heran seluruh pelaku bisnis dunia sibuk membicarakan disruptive strategy di mana-mana.

Ketertarikan ini membangkitkan energi listrik di otak kita yang disebut arousal. Ketika disruption yang menarik perhatian ini muncul sebagai sebuah tantangan yang menarik, maka otak kita menjadi siaga. Harap-harap cemas.

Sedikit rasa cemas muncul karena menyadari bahwa disruption ini sudah menyentuh hampir semua lini. Sehingga hadir sense of urgency di dalam diri kita untuk segera merespons agar tidak terlambat. Namun, terbersit pula harapan di otak kita karena melihat adanya peluang baru yang bisa ditaklukkan dengan kompetensi yang ada.

Otak kita langsung mencari-cari di gudang memori, keunggulan dan kompetensi apa yang sudah kita miliki dan mampu untuk bisa bertahan atau bahkan menang di era disruptive ini. Ketika otak kita menimbang bahwa keunggulan yang kita miliki mampu untuk menjadi senjata menghadapi disruption, maka yang muncul adalah rasa percaya diri dan semangat siap tempur.

Kedua rasa ini hasil dari terstimulasinya zat kimia otak yang disebut dopamine dan norepinephrine. Inilah kondisi optimum otak yang sangat dibutuhkan untuk bisa mencapai kinerja puncak (peak performance).

Dengan kondisi otak seperti ini, maka kita menjadi adaptif dan muncul banyak ide yang kreatif. Misalnya saja para operator telekomunikasi yang menghadapi digital disruption dan kehilangan porsi besar pendapatan pulsa, mampu bangkit mengeluarkan e-money alias uang digital. E-money ini bukan saja cara bertahan yang kreatif karena memanfaatkan keunggulan dalam hal kepemilikan big data pelanggan, tetapi justru bisa menjadi sebuah senjata untuk men-disrupt industri perbankan.

Memang otak kita mudah tertarik pada hal-hal baru. Akan tetapi, otak kita jauh lebih suka pada segala sesuatu yang sudah kita kenal akrab. VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) yang dirasakan akhir-akhir ini akibat digital disruption, dianggap membawa terlalu banyak hal baru, asing, kompleks, dan tidak pasti.

Terlalu banyak mengandung hal baru yang kompleks dalam disruption membuat otak kita kewalahan. Maka disruption yang semula mungkin dianggap menarik, kini dipersepsikan sebagai sebuah sumber bahaya. Begitu mencium bahaya, amygdala di sistem otak limbik kita terpancing aktif luar biasa. Lantas keluarlah zat kimia adrenalin yang membuat kita siap segera bertindak dan kortisol yang merupakan penanda hadirnya stres dalam diri. Kehadiran adrenalin dan kortisol ini merupakan mekanisme pertahanan diri (self-defense) otak kita dengan respon fight or flight.

Demi bisa bertahan, sebagian dari kita berusaha mengabaikan perubahan dengan berbagai pembenaran logika. Inilah respons flight pada otak manusia. Misalnya saja mengabaikan perubahan karena menganggap digital disruption masih jauh dan belum akan mengancam industri di mana kita berada. Kondisi ini disebut digital ignorance. Bank yang tutup mata terhadap keberadaan fintech, tidak bersiap-siap untuk bertransformasi digital sedari dini, adalah sebuah bentuk pengabaian. Apakah para CEO (chief executive officer) perusahaan sudah siap menghadapi dampak disruption ini?

Apakah kita boleh abai? Jika abai bisa tergusur keadaan, bukan disebabkan oleh orang lain. (Atas seizin  Lyra Puspa, Ir, MM, *PCC, ECPC, CPPC, MGSCC, CFP, AEPP, tulisan ini redaksi posting dengan sedikit edit. Penulis adalah kandidat PhD Applied Neuroscience in Psychology pada Canterbury University, UK. President & Master Coach Vanaya Coaching Institute. Ketua Asosiasi Sinergi Terapan Neurosains Indonesia).

[box type=”note”]

Simak dampak DISRUPTION (1)
Optimalkan Kinerja Otak

[/box]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *