Exhibitions, MICE

Pengunjung Sepi, Peserta Kecewa

ShareSangat kecewa, kata seorang peserta. Pengunjung  sepi meski ditarget 9.000-10.000 orang. Wartawan harus membeli katalog dan mesin buatan Israel juga digelar di...

Written by Jurnalis Industri · 2 min read >

Sangat kecewa, kata seorang peserta. Pengunjung  sepi meski ditarget 9.000-10.000 orang. Wartawan harus membeli katalog dan mesin buatan Israel juga digelar di Jakarta.

Dari kanan ke kiri Heri Tricahyono sales engineer PT Fusheng Compressor Indonesia,  Greg Balwin Director of Regional Sales Southeast Asia & Australia FS-ELLIOTT Co.LLC perusahaan pembuat mesin kompresor buatan Amerika Serikat (gambar kiri).  Gambar kanan adalah mesin bonding (cetak tekstil) merek Kornit buatan Israel yang bekerja secara digital dan harga di Jakarta US$350.000 per unit. (Foto: Rayendra L. Toruan) 
Dari kanan ke kiri Heri Tricahyono sales engineer PT Fusheng Compressor Indonesia,  Greg Balwin Director of Regional Sales Southeast Asia & Australia FS-ELLIOTT Co.LLC perusahaan pembuat mesin kompresor buatan Amerika Serikat (gambar kiri).  Gambar kanan adalah mesin bonding (cetak tekstil) merek Kornit buatan Israel yang bekerja secara digital dan harga di Jakarta US$350.000 per unit. (Foto: Rayendra L. Toruan)

Pameran skala internasional di Singapura, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain  menghargai para jurnalis. Penyelenggara pameran memberikan semua bahan yang dibutuhkan—termasuk katalog/direktori pameran—diberikan gratis. Bukankah para jurnalis menulis berita yang sebetulnya bagian dari promosi gratis bagi event organizer (EO)?

Berbeda dengan di Indonesia, wartawan harus membeli katalog dari penyelenggara pameran seperti pada pameran tekstil  dan produk tekstil (TPT) atau garmen bertajuk Indo Intertex-lnatex-lndotexprint 2017 di Kemayoran, Jakarta, pada 19-21 April 2017. Padahal penyelenggara meraup puluhan atau (mungkin) ratusan miliar rupiah dari 450 peserta (24 negara) yang menggunakan semua hall A, B, C, dan D. Apalah artinya sebuah katalog yang harus dibayar oleh wartawan Rp100.000 kepada EO?

Menemui  Project Director Peraga Expo Paul Kingsen, tidak  diizinkan oleh stafnya. Wartawan diusir agar tidak menghalangi pekerjaannya. Sayangnya, teman wartawan itu tidak mencatatat nama anak buah pak Paul Kingsen itu. “Saya sempat malu diplototin staf EO dekat sekuriti,” ujar kawan yang merasa tidak dihargai oleh EO.

Tema pameran pun tidak jelas, apakah mau tonjolkan produk tekstil, garmen, dan asesoris atau mesin/peralatan yang digunakan oleh para pelaku industri terkait? Kebanyakan peserta pameran—terutama dari Tiongkok, Taiwan, India—justru menggelar produk (akhir) seperti bahan baku, benang, asesoris, bahkan gunting, mesin obras, sablon, cover bad berikut bantal, dan mesin jahit.

Seorang peserta dari India agak konfuse mengamati minat pengunjung. Hampir tak ada pengunjung yang mendatangi boothnya dalam 2 jam. “Saya terpaksa hibur diri di kantin,” ujar pria yang memajang banyak brosur dan cokelat bagi pengunjung. EO, ujarnya, kurang kreatif menggali dan membuat spesifikasi visitors.

Pameran jenis ini sudah 15 kali dilaksanakan. Tampaknya kementerian perindustrian dan instansi terkait—seperti Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) jarang atau tidak pernah mengevaluasi suatu pameran—sebelum memberikan izin—apa dampak positifnya terhadap industri di dalam negeri.  Seorang pengunjung menyatakan, dia justru ingin mencari mesin tekstil yang berkualitas namun efisien penggunaan energi. Dia menyesalkan kebanyakan peserta pameran justru memajang produk yang sudah diproduksi di Indonesia.

Mesin cetak TPT buatan Israel

“Pameran seperti ini justru menghambat pertumbuhan industri tekstil dan garmen di Indonesia,” kata pria yang punya pabrik di Jawa Barat. Dia enggan menyebutkan namanya. “Saya kasih masukan saja agar kementerian perindusrian melindungi TPT di Indonesia,” katanya.

Pertumbuhan TPT di Indonesia mengalami “lesu darah” dalam 2-3 tahun terakhir. Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia, industri TPT menurun sebesar 7,12 persen pada semester pertama tahun 2016.   Sementara itu, investasi sebesar Rp7,54 triliun pada 2016 dan nilai ekspor US$11,87 miliar. Sebagian besar investasi itu digunakan untuk membeli mesin dan peralatan industri TPT.

Indonesia pernah mampu membuat mesin TPT (seperti Texmaco). Namun, sejak era reformasi, produksi mesin TPT terkubur mengikuti kebangkrutan Texmaco. Lebih baik fokus meningkatkan kualitas industri TPT, ujar Greg Balwin Director of Regional Sales Southeast Asia & Australia FS-ELLIOTT Co.LLC produsen mesin kompresor buatan Amerika Serikat. Greg yang berkantor di Kuala Lumpur, Malaysia, menyatakan peralatan untuk TPT yang ditawarkannya dibuat oleh perusahaan yang sudah berpengalaman lebih 50 tahun.

Mesin merek Polaris+  demikian hemat energi, tahan uji selama beroperasi, dan hemat ongkos operasional yang berpengaruh terhdap harga yang berdaya saing di pasar internasional. Melalui PT Fusher Compressor Indonesia, Greg menawarkan 5 (compressor range) yakni P300+, P400+,500+, 600+, dan P700+ .  Menurut Greg, kompresornya itu sesuai digunakan di hampir semua sektor industri utamanya industri TPT.

Meski Indonesia-Israel belum mempunyai hubungan diplomatik, ternyata mesin dan teknologi buatan Israel (diam-diam) sudah memasuki pasar Indonesia. Nah, ini membuktikan bahwa potensi pasar Indonesia demikian besar.  Kita akui bahwa TPT buatan Indonesia hanya di kisaran 2-3 persen dari total produksi dunia.

Akan tetapi, penduduk Indonesia yang berjumlah lebih 250 juta tentu menggiurkan bagi produsen mesin TPT—termasuk Israel yang memajang mesin cetak (tekstil) yang dinamai Kornit Storm 1000 dan Komitstorm Hexa yang diproduksi Kornit Digital Ltd yang bermarkas di Israel. Perusahaan ini memasarkan mesinnya untuk wilayah Asia lewat Hong Kong.

Harga satu mesin US$350.000 dengan kecepatan yang dapat disesuaikan dengan target kapasitas produsi yang direncakan. Pihak Kornit menyediakan printer, software, servis, bahan kimia sepeti tinta yang dikembangkan sendiri (untuk menjaga kualitas kinerja mesin), asesoris, dan tentu saja ramah lingkungan (eco-friendly).

TPT yang ingin meningkatkan ekspornya sebaiknya memiliki sertifikat tingkat internasional. Sertifikasi  itu meliputi serat, yarn, pabrikasi, warna, dyestuff analysis, burning test, residue/trace analysis, clothing physiology test, washing powder, dan lain-lain—dapat dilakukan oleh PT Testex Testing and Certification yang bekerja sama dengan konsultan dari Swiss yang berpengalaman sejak 1846. TESTEX yang berkantor di Jakarta dan Bandung itu dikumandani oleh Titi Susanti selaku dikektur.

[box type=”note”]

Simak TPT EXPO (2)
Kapas dan Serat Askasia Masih Diimpor, Kenapa?

[/box]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *